Rabu, 27 Februari 2013

Museum Brawijaya Malang

Ada satu bangunan di kawasan elit Kota Malang yang menarik perhatian sejak kunjungan pertama ke kota ini tiga tahun yang lalu. Minggu kemarin saat bertandang untuk ketiga kalinya, kembali saya melewati bangunan tersebut dalam perjalanan pulang dari rumah saudara yang membuat semakin penasaran untuk melihat dari dekat. Akhirnya hari terakhir di Malang berlima dengan kawan sebelum kembali ke Jakarta, kami sempatkan untuk bertandang ke sana.


Waktu menunjukkan pk 10 lewat saat saya melapor ke petugas di pos penjagaan menanyakan waktu operasional museum. Tulisan besar Museum Brawijaya berwarna merah di bagian atas gedung dan patung Panglima Soedirman seakan memberi salam selamat datang saat kaki menapaki anak tangga menuju museum. Di beranda depan, tampak empat orang petugas berseragam batik masih sibuk menyapu dan mengepel lantai membuat saya bertanya,”Pagi mbak, museumnya belum buka ya?” Si mbak buru-buru mengenakan sepatu yang tadi dilepas, menyambut kami di meja tamu sembari mempersilahkan untuk membayar tiket masuk. Dari seragamnya saya menebak mereka adalah pemandu di museum, sayangnya selama di sana tak ada satupun dari mereka yang menawarkan untuk menenami kami berkeliling. Bahkan mereka terlihat seperti orang baru yang asing di tempat kerja mereka sendiri.
Museum Brawijaya tampak dari depan

 
Brawijaya diambil dari nama Bhre Wijaya (Raden Wijaya) pendiri kerajaan Majapahit. Bhre atau Bra adalah gelar di kerajaan Majapahit yang berarti Agung. Nama yang kemudian diberikan untuk komando wilayah pertahanan di wilayah Jawa Timur yaitu Kodam V Brawijaya. Museum Brawijaya didirikan 4 Mei 1968 di dalamnya menyimpan sebagian dokumentasi perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada Agresi Militer Belanda I dan II di daerah Jawa Timur hingga saat ini. Ada dua ruangan pamer yang terdapat di dalam museum ini, ruangan di sayap kanan berisi koleksi/dokumentasi TKR dan ruangan di sayap kiri berisi berbagai koleksi maupun dokumentasi tahun 1950 hingga 1990an.
Lukisan yang menggambarkan ketegangan di dekat Jembatan Merah Surabaya saat terbunuhnya Mallaby.
Koleksi senjata yang terbuat dari potongan tiang listrik dan telepon
Di ruang sayap kanan sebuah mobil keluaran De Soto yang merupakan kendaraan dinas Panglima Divisi I Jawa Timur Kolonel Soengkono yang menjabat pada tahun 1948-1950 diparkir di depan pintu masuk. Dokumentasi perjalanan Panglima Besar Soedirman juga mendominasi ruangan ini termasuk buah pikirannya yang digantung di dinding. Di samping itu ada beberapa pucuk pistol yang digantung di dalam lemari terkunci, serta koleksi senjata produksi Mrican, Kediri yang dibuat dari potongan tiang listrik dan tiang telpon dipajang di pojok ruangan. Lalu peristiwa terbunuhnya pemimpin tentara Inggris untuk wilayah Jawa Timur Brigjend Aubertin Mallaby pada 30 Oktober 1945 di dekat Jembatan Merah, Surabaya tergambar di lukisan yang terpampang di atasnya.
Dokumentasi Operasi Trisula yaitu operasi yang digelar dalam rangka penumpasan sisa gembong-gembong PKI di Blitar Selatan tersimpan di ruangan yang berada di sayap kiri. Sebuah batu besar yang digunakan oleh warga untuk menimpuk kepala Oloan Hutapea salah satu gembong PKI yang dicari pun tersimpan di ruangan kaca lengkap dengan reportase penangkapannya. Benda-benda lain yang ikut dipajang adalah beberapa komputer tua, terompet serta beberapa piala. Di halaman belakang museum terdapat sebuah gerbong kereta barang yang menarik perhatian untuk dijadikan tempat foto. Namun begitu membaca tulisan di gerbong, sang kawan yang hendak berfoto mengurungkan niatnya. Tulisan di gerbong itu adalah salah satu diantara 3 gerbong maut yang pernah digunakan oleh Belanda untuk mengangkut 100 tawanan pejuang Indonesia dipindahkan dari penjara Bondowoso ke tahanan Bubutan Surabaya pada 23 November 1947. Gerbong yang pengab dan tidak adanya sirkulasi udara karena pintu dan jendela ditutup rapat menyebabkan 46 orang meninggal, 11 sakit parah, 31 sakit dan 12 orang sehat.
Gerbong maut di halaman museum Brawijaya
Hal lain yang menarik perhatian saya saat berkunjung ke Museum Brawijaya adalah kesan-kesan dari Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani yang digantung di samping pintu ruangan sayap kanan serta buah pikiran Panglima Besar Jenderal Soedirman yang saya kutip berikut:
Kekurangan yang terdapat dalam revolusi phisik kita adalah dokumentasi yang faktueel untuk anak cucu kita dikemudian hari. Karena itu saya anjurkan mulai sekarang mumpung pelaku-pelakunya masih hidup untuk in beeld brengen (melukiskan) moment-moment yang bersejarah itu. Saya lihat bahwa beberapa artis-artis kita telah berhasil dalam usaha yang saya maksud kan. Maju Terus Pantang Mundur! - Pangad Letnan Jenderal A. Yani, Surabaya - 17 Des 1964
Jangan bimbang menghadapi macam-macam penderitaan, karena makin dekat cita-cita kita tercapai, makin berat penderitaan yang harus kita alami - Panglima Besar Jend Soedirman
Dari nama besarnya, saya berharap ketika masuk ke museum Brawijaya akan mendapati penataan koleksinya seperti di Museum Polri atau minimal Gedung Joang 45, Jakarta. Sayangnya yang muncul adalah kesan yang sama saat berkunjung ke Museum Mpu Tantular beberapa tahun lalu, bahkan penataan barang koleksi museum di Rumah Sejarah Kalijati masih lebih rapi dan bersih dibandingkan dengan Museum Brawijaya. Semoga ke depannya pengelola museum akan lebih memperhatikan penataan di dalam ruang pamer sehingga walau pun koleksi yang dipajang adalah barang-barang tua, tidak terkesan kumuh. Di samping itu, hal yang juga perlu mendapat perhatian adalah para pemandu yang dibekali dengan pengetahuan yang terkait dengan apa yang hendak ditampilkan sesuai dengan visi misi museum Brawijaya serta harus tanggap dalam melayani pengunjung. Sehingga seturut dengan semboyan di serambi depan museum Citra Uthapana Cakra (= sinar yang membangkitkan kekuatan), maka saya tetap menaruh harapan jika tata ruang serta pencahayaannya diatur sedemikian rupa serta pelayanan pemandu ditingkatkan, bisa dipastikan akan membuat pengunjung terkesan dan memberikan informasi yang bermanfaat kepada sekelilingnya untuk berkunjung ke Museum Brawijaya.

0 komentar:

Posting Komentar